Monday, August 25, 2014

Blangkon Gaya Solo dan Yogyakarta

pria jawa 
Blangkon adalah tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon.
Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa. Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang blangkon yang disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.
Sekarang lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena orang sekarang kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit langsung pada bagian belakang blangkon. Blangkon Surakarta mondholannya trepes atau gepeng sedang mondholan gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde.
Blangkon Gaya Solo
blangkon merupakan salah satu pencerminan identitas budaya. Orang yang memakai blangkon merasa njawani, menjadi bagian dari masyarakat Jawa. 
Di Solo, ada dua jenis blangkon, yaitu blangkon untuk abdi dalem dan blangkon untuk masyarakat umum. Blangkon untuk abdi dalem diberi nama Cekok Mondol. Ciri khas blangkon ini terletak pada mondolan atau bulatan di belakang dan di atasnya terdapat bentuk dasi kupu-kupu. Sementara blangkon untuk masyarakat umum disebut Solo Kasatriyan, dengan ciri bulatan kecil pada bagian belakang. Seiring waktu, blangkon Solo memiliki varian dan tampilan yang unik dengan beberapa kreasi baru. Di antaranya blangkon untuk penggemar motor besar, yang menggabungkan unsur tradisional dan semangat petualangan. Terobosan ini dilakukan perajin untuk merespons kepentingan pasar yang lebih luas agar dapat diterima oleh setiap lapisan masyarakat dari segala usia.
Blangkon sejatinya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk segi empat dengan ukuran 105 x 105 cm, namun yang digunakan hanya separuhnya. Untuk mengukur ukuran blangkon, diambil dari jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi dan melalui atas kepala. Pada umumnya, ukuran blangkon paling kecil bernomor 46, sementara yang paling besar 59. Proses pembuatan blangkon melalui tiga tahap dasar, yaitu pengguntingan, pengeleman, dan pengeringan. Membuat satu blangkon kira-kira butuh waktu sekitar satu jam. Yang lama adalah proses pengeringannya karena membutuhkan tenaga matahari. Proses pembuatan batik dimulai dari kain hitam penutup kepala yang dimasukkan ke cetakan blangkon yang terbuat dari kayu. Kain tersebut kemudian diolesi lem dan ditempeli kertas koran. Setelah itu ditempel kain batik dan dibentuk sesuai model blangkon. Proses ini dinamakan klobot. Klobot kemudian dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah proses pengeringan selesai, calon blangkon dijahit manual menggunakan tangan. Harga blangkon bervariasi antara Rp 10-Rp 300 ribu, tergantung dari bahan yang digunakan serta tingkat kesulitan pengerjaan.





Blangkon Gaya Yogyakarta

Bentuk blangkon dengan gaya Yogyakarta hanya terdapat dua buah, yaitu : blangkon dengan bentuk Mataraman dan blangkon dengan bentuk Kagok.Kedua blangkon tersebut terbentuk dari bagian-bagian yang hampir sama, yaitu wiron/wiru, mondolan, cetetan, kemadha, dan tanjunga.
Motif-motif yang digunakan dalam pembuatan blangkon antara lain : motif modang, blumbangan, kumitir, celengkewengen, jumputan, sido asih, sido wirasat, taruntum. Motif-motif di atas adalah motif yang sering digunakan dalam pembuatan blangkon dengan gaya Yogyakarta . Selain motif utama di atas masih ada motif-motif lain yang sering digunakan dalam pembuatan blangkon. Pemakaian motif diluar motif yang dibuat khusus untuk motif iket merupakan perkembangan dalam pemakaian motif batik.
Makna simbolis bentuk blangkon gaya Yogyakarta antara lain :
Wiron/wiru, berjumlah 17 lipatan yang melambangkan jumlah rakaat sholat dalam satu hari.
Mondolan mempunyai makna kebulatan tekad seorang pria dalam melaksanakan tugasnya walaupun tugas yang diberikan sangat berat.
Cetetan, mempunyai makna permohonan pertolongan kepada Allah SWT.
Kemadha, bermakna menyamakan atau menganggap sama seperti putra sendiri.
Tanjungan mempunyai makna kebagusan, artinya supaya terlihat lebih tampan sehingga disanjung-sanjung dan dipuja.
Sedangakan makna simbolis motif yang diterapkan pada pembuatan blangkon antara lain :
Motif Modang, mengandung makna kesaktian untuk meredam angkara murka, yaitu sebelum mengalahkan musuh dari luar harus mengalahkan musuh yang datangnya dari dalam sendiri.
Motif Celengkewengen, menggambaran keberanian juga berarti sifat kejujuran, polos dan apa adanya
Motif Kumitir, merupakan pengambaran orang yang tidak mau berdiam diri dan selalu berusaha keras dalam kehidupannya.
Motif Blumbangan, berasal dari kata blumbang yang berarti kolam atau tempat yang penuh dengan air. Air sendiri merupakan salah satu dari sumber kehidupan.
Motif Jumputan, berasal dari kata jumput yang berarti mengambil sebagian atau mengambil beberapa unsur yang baik.
Motif Taruntum, motif ini berbentuk tebaran bunga-bunga kecil yang melambangkan bintang dimalam hari.maknanya bahwa kehidupan manusia tidak lepas dari dua hal, seperti gelap terang, bungah susah, kaya miskin dan sebagainya.
Motif Wirasat, artinya berupa pengharapan supaya dikabulkan semua permohonannya dan bisa mencapai kedudukan yang tinggi serta bisa mandiri terpenuhi secara materi. h. Motif Sido Asih, motif ini mempunyai harapan agar mendapat perhatian dari sesama dan saling mengasihi. (soen)
Tambahan adanya mondolan di blangkon ngayogyakarta dibakukan oleh Hamengkubuwono VII, untuk menyiasati rambut pria Jogja yang sebelumnya panjang mulai dipengaruhi budaya barat dengan memotongnya pendek seperti kita sekarang. Jadi rambut yang sebelumnya dimasukkan pada bagian belakang udheng/blangkon yang membuat adanya tonjolan rambut pd belakang blangkon diganti dengan tonjolan mondolan. Adaptasi ini tidak terjadi pada blangkon gaya Solo sehingga pada blangkon Solo kempes di belakang.









sumber:
Adopsi Keris
wikipedia
surakarta.go.id

No comments:

Post a Comment